TEMA: Ujilah Segala Sesuatu dan Peganglah yang Baik

Bacaan: (1 Tesalonika 5:21)

I. PENGANTAR

“Makna hidup bukan untuk dipertanyakan tetapi untuk ditanggapi, karena kita bertanggungjawab terhadap kehidupan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tanggapan harus diberikan bukan dengan kata-kata, melainkan dalam tindakan, dengan bertindak.” (Frankl, 2022).

Pernyataan itu merupakan bagian dari pengalaman dan refleksi pastoralia, dengan pendekatan Logoteraphy, suatu proses pastoralia yang bertitik tolak dari pengalaman langsung (pengalaman konkret) seseorang dan melaluinya ia menyembuhkan dirinya sendiri, bahkan dari suatu pengalaman yang berat. Viktor E. Frankl menggunakan pendekatan itu untuk melihat pentingnya kesadaran dan tanggungjawab, sebagai dua hal yang ada pada diri manusia, serta turut menentukan kecenderungan sikap seorang individu menempatkan diri di dalam tantangan konkret yang dialaminya sendiri atau bersama (sebagai suatu komunitas, ras, suku, dll).

Saya menggunakan Logoteraphy dari Frankl, bukan untuk merumuskan suatu metode pastoral dalam materi PA ini, melainkan untuk melihat pentingnya kesadaran dan tanggungjawab sebagai potensi spiritual di dalam diri setiap individu kristen yang penting dikelola untuk menjadi basis pemaknaan diri guna menjalankan tugas bergereja di tengah dinamika perubahan sosio-teologi digital yang terus berkembang.

Dalam arti itu, judul PA, “Ujilah Segala Sesuatu dan Peganglah yang Baik”,  sekaligus Tema Pelayanan GPI 2025-2030 ini, menempatkan tugas dan fungsi gereja secara kuat di tengah perkembangan yang sarat dengan motif-motif beragama. Jika dahulu di zaman para rasul, mereka berhadapan dengan kondisi dimana para petobat bukan Yahudi harus diyakinkan untuk memahami seperti apakah Yesus, dan apa kebutuhan mendesak kekristenan untuk menyebarkan injil (bd. Guthrie, 1990), maka gereja di Indonesia (baca. GPI) saat ini tidak lagi menjadikan apologia[1] sebagai kebutuhan, sebab lingkungan yang dihadapi saat ini bukan lagi lingkungan non-kristen, yang secara alamiah tercipta karena perbedaan agama, melainkan suatu lingkungan yang sangat terbuka, dengan tawaran seperangkat nilai alternatif dari teknologi digital.

Apa yang disebut sebagai era post-truth telah membawa gereja-gereja di Indonesia masuk ke dalam suatu kondisi dimana pastoral dan katekhese gereja penting dikerjakan secara sungguh-sungguh. Kebenaran-kebenaran di dalam injil atau pengajaran agama kristen sudah menjadi ranah pemahaman publik yang terbuka untuk dipelajari. Dokumen-dokumen agama, termasuk varian tafsir kitab suci dan ajaran-ajaran pokok agama, sudah menjadi dokumen atau kekayaan publik (public heritage) yang tidak tertutup untuk dipelajari siapapun.

Artinya, ajaran kebenaran di dalam Kristen, tidak lagi terkunci untuk dipelajari siapapun, sebaliknya juga ajaran kebenaran dari agama lain. Lambat laun masyarakat kita akan memandang bahwa kebenaran yang tersaji dalam kitab-kitab suci agama-agama di dunia bisa menjadi pelajaran etika dan moral publik kepada semua orang. Tanpa sadar juga, dunia digital telah menjadi media pembentukan dan pembelajaran etika dan moral publik. Maka jika gereja-gereja tidak serius dengan pastoral dan katekhisasi/katekhese dapat dipastikan bahwa kebenaran kristen kehilangan keunikan sebagai suatu nilai agama yang fundamental, dan kasih sebagai dasar dari seluruh tindakan atau perilaku kristen tidak lagi bersumber pada kasih Allah (agape), sehingga Yesus bisa saja dipandang sebagai tokoh publik yang populer. Bisa saja, iman umat dipahami secara instant sebatas kebiasaan menekan tombol like (suka) pada media sosial.

[1] Apologia Kristen tidak hanya berkonsentrasi pada pemikiran teisme (pemahaman tentang Tuhan), tetapi juga klaim kebenaran yang terarah pada dua subyek/pendengar, yaitu (1) orang yang orang yang tidak percaya yang diharapkan dapat bertobat, dan, (2) orang percaya yang diharapkan dapat diteguhkan di dalam iman (Melton, 2005).

 

II. GAMBARAN UMUM TEKS

Tesalonika (315 SM) merupakan salah satu kota kuno di Makedonia yang didirikan oleh Raja Kassandros, dan menjadi salah satu kota perdagangan yang cukup ramai, seiring perkembangan di Roma dan Bizantium sampai dengan tahun 41 SM. Di zaman kekaisaran Romawi, Tesalonika menjadi pusat pertumbuhan kekristenan terbesar, dan Paulus menulis suratnya yang pertama, yaitu 1 dan 2 Tesalonika dalam masa-masa awal itu (48-50 SM, Sanders, 2015).

Tesalonika juga merupakan kota berkebudayaan Yunani yang diramaikan dengan pemikian-pemikiran filsafat Yunani Helenistik, dan kegandrungan sebagian orang untuk kembali menghidupkan filsafat dan agama Yahudi. Tetapi kekristenan bertumbuh di kalangan orang-orang bukan Yahudi dan yang berbudaya Helenis yang berpusat pada rasio murni, bahwa segala kebenaran itu faktual (benar-benar terjadi), teruji (masuk akal), dialektis (terdapat ruang untuk disanggah), dan dapat dibedakan antara yang absolut (aksioma) dengan yang hipotetik atau yang patut diuji kembali.

Berhadapan dengan pengajaran Kristen yang marak berkembang saat itu, pokok perbantahan kalangan filsafati itu ialah tentang kedatangan Kristus untuk kedua kalinya (parousia), karena itu juga berkaitan dengan keselamatan kepada mereka yang meninggal sebelum kedatangan kembali (4:13-18), serta jaminan hidup kekal. Ini bersumber dari akar-akar gnostik yang menganggap bahwa Tuhan tidak dapat menjadi manusia, karena apa yang kekal tidak bisa menyatu dengan yang fana. Dengan kata lain, ada arus penolakan terhadap inkarnasi, dan konsep Yesus sebagai Tuhan atau Firman (logos) yang menjadi manusia.

Dari 1 Tesalonika 1, kita mendapat kesan kuat bahwa orang-orang bukan Yahudi dan sebagian besar orang Yahudi, memberi respons yang luar biasa terhadap pemberitaan injil yang dikerjakan Paulus dan rasul-rasul lainnya, meski mereka mengalami penindasan yang berat juga dari pemerintah Romawi  (1:6). Mereka yang dimaksudkan ini adalah kelompok yang disebut ekklesia, atau kelompok kristen (christiani), yang menurut Wilken (1993), suatu kelompok, yang tidak dihormati oleh orang-orang kaya dan berkuasa; tetapi mereka dapat berkumpul dengan teman dan tetangga secara teratur untuk berbagi makanan, menghabiskan malam bersama, atau menghibur teman yang sedang berduka ketika istrinya meninggal. Perkumpulan ini memberikan rasa saling memiliki bagi pria dan wanita. Secara individu mereka lemah dan dipandang rendah, mereka menemukan sarana untuk berkembang dan berorganisasi, yang sekaligus menumbuhkan perasaan sosial, meningkatkan harga diri mereka dan menjaga kepentingan bersama (Wilken, 1993).

Jadi ada kebutuhan besar yang hendak disampaikan Paulus di situ ialah: (1) mengkonsolidasi kelompok kristen, atau ekklesia, yang telah menjelma menjadi satu rumah (oikos) yang besar, dan bagi Paulus adalah satu jemaat dalam arti perkumpulan orang-orang percaya, termasuk yang meninggalkan penyembahan berhala (1:6); (2) menumbuhkan pengharapan akan kedatangan Yesus, sebab Ia adalah Anak Allah yang telah mati dan dibangkitkan dari antara orang mati (1:10a); (3) meyakinkan mereka tentang keselamatan yang telah diberi, dan meluputkan kita dari murka yang akan datang (1:10b).

Ada dua aspek penting sebagai tujuan dari PA ini, yakni: (1) Pentingnya pastoral (logoteraphy). Pengalaman Paulus, yang juga mengalami banyak aniaya seperti di Filipi (2:2), dan banyak kesesakan yang dialami orang-orang kristen di Tesalonika (2:14), sehingga surat ini sangat bernuansa pastoralia. Paulus menjadikan pengalaman penderitaannya dan umat, sebagai pijakan spiritual untuk menumbuhkan pengharapan akan keselamatan saat ini dan saat kedatangan Yesus (yun. ἐρχομένης – erchomenēs). Itulah sebabnya, pastoral merupakan satu implikasi langsung dari telaah teks ini untuk dikerjakan gereja, mengingat umat dan para pelayan juga memiliki pengalaman hidup yang berat secara personal tetapi juga sebagai bagian dari suatu komunitas. (2) Pentingnya katekhese/katekhisasi gereja dilaksanakan secara intensif dan intergenrasional, dengan tetap menjadikan injil sebagai kebenaran yang bernilai, yaitu kebenaran yang berpribadi di dalam Yesus, Anak Allah. Sebab tanpa itu, kebenaran tersebut tidak ada bedanya dengan nilai-nilai moral lain di dalam masyarakat.

III. TAFSIR 1 TESALONIKA 5:21

Teks 1 Tesalonika 5:21 ada dalam bagian “nasehat-nasehat umum” (5:12-22)[1], yang memiliki hubungan dengan pertanyaan umum mengenai parousia. Sebelum dijelaskan lebih lanjut, penting dulu dipahami bahwa mengenai kedatangan Yesus, Paulus menggunakan dua kata Yunani untuk menerangkan kedatangan Anak Allah. Kata pertama yaitu, ἐρχομένης – erchomenēs (1:10), yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan “coming”. Kata ἐρχομένης – erchomenēs merupakan Kata Kerja Present Partisip (KKPP/V-PPM), yang bermakna langsung, yaitu datang, telah datang, masuk, turun. Kata-kata itu menerangkan bahwa Anak Allah, atau Yesus, telah datang ke dalam dunia, dan Ia telah melakukan pekerjaan yang menjurus pada penyelamatan atas umat manusia. Ini adalah penegasan Paulus tentang Yesus sebagai Tuhan yang menjadi manusia, sekaligus bahwa Ia sendirilah yang mati dan bangkit dari antara orang mati. Kematian Yesus adalah jaminan keselamatan semua orang percaya.

Kata kedua ialah, παρουσίαν parousian (Kata Benda Akusativ Feminin Tunggal/N-AFS), yang secara langsung berarti: kedatangan dan menunjuk pada “kedatangan kedua” (second coming – 4:17). Kata ini menerangkan tentang jaminan hidup kekal, kepada mereka yang telah meninggal maupun kita yang masih hidup sampai kedatangan Yesus yang kedua (4:16-17). Kedua kata itu penting untuk memahami pengharapan Kristen yang digemakan Paulus dalam suratnya ini, sehingga kita tidak perlu berpikir lagi mengenai mereka yang telah mati, melainkan mengarahkan hidup kita pada apa yang menjadi tanggungjawab saat ini, sesuai dengan pengharapan akan keselamatan di masa yang akan datang.

1 Tesalonika 5:21 sendiri merupakan pesan terakhir Paulus kepada orang-orang Kristen. Bagi Paulus, mereka sudah punya kualitas spiritual, dan karena itu membedakan mereka dari orang-orang lain. Paulus menyebut mereka sebagai orang yang tidak hidup di dalam kegelapan (5:4), atau sebagai anak-anak terang (5:5). Artinya, rahasia Allah, yakni waktu kedatangan kedua, tidak akan ditutupi dari mereka. Walau pun tentang waktu itu, kita tidak berhak mengetahuinya (5:1-2).

Ia mengklasifikasi kadar kualitas itu juga dengan membedakan mereka yang disebut “orang-orang malam/kegelapan” (5:5-7). Kita, menurut Paulus, adalah “orang-orang siang” (5:8). Untuk membedakan antara mereka yang hidup seperti orang yang bermimpi dan mabuk, dengan yang sadar, siuman. Bagi kita, orang-orang siang, dinasehati untuk: (1) berbajuzairahkan iman dan kasih, berketopong pengharapan keselamatan, karena kita ditentukan untuk menerima keselamtan melalui Tuhan kita Yesus Kristus (5:9); dan (2) saling menguatkan seorang akan yang lain, dan saling membangun (5:11).

Dalam 5:12-20 itu, Paulus meminta agar, umat: (1) membangun relasi pastor-pastorum (5:12), dengan saling menghormati setiap orang yang telah bekerja dan memimpin, membimbing, menuntun mereka dalam iman (hubungan gembala/pemimpin dengan domba-domba/umat secara timbal balik); (2) memelihara damai dalam hidup dengan sesama (5:13); (3) menegur mereka yang tidak mau bekerja (karena dibuai oleh keselamatan palsu – 5:14a); (4) melakukan advokasi untuk membela hak mereka yang putus asa dan lemah (5:14b); (5) sabar (5:14c); (6) berbuat baik, jauhi dendam dan kekerasan (5:15); (7) bersukacita (5:16); (8) tetap berdoa (5:17); (9) mengucap syukur (5:18); (10) memberi diri dikuasai Roh Kudus, agar tidak memendang remeh semua nubuat (5:19-20). Itu semua menerangkan secara langsung kadar spiritualitas umat atau jemaat/gereja. Paulus yakin hal itu ada dalam hidup mereka, sebab ia dan para rasul telah memberi teladan dirinya secara langsung (bd. 1:6). Telah ada proses belajar secara langsung dari apa yang dilakukan Paulus dan para rasul, dan umat menjadikan keteladanan mereka sebagai patokan perilaku.

Dari situ baru Paulus tiba pada nasehatnya di ayat 21: “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (yun. πάντα δὲ δοκιμάζετε τὸ καλὸν κατέχετε – panta de dokimazete to kalon katechete). Hal “ujilah” (δοκιμάζετε – dokimazete) menerangkan pada proses penelitian secara tajam, atau telaah mendalam (discernment), sampai pada suatu pembuktian yang dalam konteks ini selaras dengan iman. Jadi semua kebenaran itu ada, namun orang Kristen tidak bisa menerima semua itu mentah-mentah tanpa pemahaman mendalam. Untuk maksud ini, maka gereja tidak bisa mengabaikan tugasnya untuk mengajar (didaske), sehingga Injil atau Firman Tuhan harus menjadi materi pembelajaran utama yang tidak bisa diabaikan.

Atas proses pendalaman itu, suatu kebenaran (yun. καλὸν – kalon) yang harus dipegang adalah kebenaran yang menghidupkan. Sebab itu kebenaran di sini dijadikan sebagai milik pribadi, atau sesuatu yang dimiliki, patut dipertahankan, malah dijaga agar tidak lepas atau hilang (mubazir). Di sini sebenarnya Paulus mengajak orang-orang Kristen asal Yahudi untuk percaya kepada semua nubuat yang telah diucapkan para nabi di zaman lampau, yaitu nubuat tentang penebusan dosa yang dikerjakan oleh Yesus. Bahwa apa yang dilakukan Yesus itu benar, suatu kebenaran yang hidup di dalam diri-Nya, dan menghidupkan. Janji tentang keselamatan pada kedatangan Anak Manusia atau Hamba Allah (ebed Yhvh) telah menjadi nyata di dalam Yesus. Ia juga hendak mengajak orang Kristen asal Yunani untuk percaya pada semua nubuat itu, dan juga kepada pemberitaan injil yang telah disampaikannya.

Berdasarkan hal itu, umat harus menunjukkan kualitas spiritual yang lebih di tengah masyarakat majemuk dan dalam perubahan sosial politik yang terus terjadi. Perlu kesadaran (=iman) dan tanggungjawab (=karakter kristiani) untuk menghadapi perubahan yang terjadi di tengah masyarakat.

[1] Komposisi 1 Tesalonika adalah: (1) Salam (1:1); (2) Doa Ucapan Syukur (1:2-3); (3) Kenang-Kenangan Tesalonika (1:4-2:16); (4) Hubungan Paulus dengan Jemaat Tesalonika (2:17-3:13); (5) Nasehat Kehidupan Orang Kristen (4:1-12); (6) Masalah-Masalah yang Berkaitan dengan Parousia (4:13-5:11); (7) Nasehat Umum (5:12-22); (8) Penutup (5:23-28).

IV. IMPLIKASI ETIS

GPI berhadapan dengan semakin pentingnya mereformulasi eklesiologi, teologi dan misiologinya, sehingga tidak terpasung terus dalam lingkaran memori masa lampau, juga pada warisan-warisan teologi kolonial. Teologi GPI, dalam kerangka Indonesia Merdeka, sudah harus menaruh fokus pada gerakan pembebasan dan pemberdayaan, dengan menjadikan gereja sebagai persekutuan orang percaya yang mampu bersama-sama dan bersatu untuk mengembangkan misi Tuhan (wawasan kolaboratif).

GPI haruslah menjadi satu rumah tangga (οἰκογένεια), dimana setiap anggotanya kedapatan saling menolong, membantu, berbagi dan menanggung beban satu akan lainnya. Suasana hidup rumah tangga itu mengilustrasikan GPI sebagai satu keluarga besar, dimana setiap orang di dalamnya adalah saudara yang saling memiliki dan berkorban dengan rela. Suasana cinta kasih penting dalam kesatuan rumah tangga tersebut.

Fungsi pengajaran di dalam rumah, atau dalam GPI, sebagai gereja Tuhan yang hidup menghadapkan kita pada tantangan intergenerasional di era post-truth dengan beragam bentuk kemajuan AI. Sebab itu gereja-gereja anggota harus menseriusi pembinaan di dalam setiap rumah tangga warga gereja, menjalankan fungsi pengajaran gereja, bertumpu pada ajaran gereja yang bersifat universal maupun ajaran gereja yang lahir dari tradisi dan kekayaan pergumulan spiritual masing-masing. Dalam fungsi itu, gereja-gereja anggota harus didorong untuk menjembatani jarak antar-generasi dengan memaksimalkan pengajaran gereja melalui Sekolah Minggu, Katekhisasi, Khotbah, dan bentuk pembinaan umat yang lain.

Dalam konteks itu, maka GPI haruslah menjadi gereja yang pastoralistik untuk selalu membimbing umat di dalam gempuran varian moral publik yang berkembang saat ini, tetapi juga sekaligus memberdayakan umat dan masyarakat yang lemah, berkebutuhan khusus, dan berjuang bagi keutuhan lingkungan hidup.

V. PERTANYAAN TELAAH

  1. Apa tantangan yang paling serius, yang kita hadapi sebagai GBM, dan itu yang harus menjadi pokok pergumulan bersama melalui GPI?
  2. Bagaimana Gereja Persaudaraan membangun jejaring pelayanan yang membuat GPI mampu menjalankan misi di tengah beragam kemajuan AI dewasa ini?
  3. Dalam hal berjalan bersama dengan PGI, apa yang harus dilakukan GPI untuk menanggulangi polycrisis dalam arak-arakan ecumene in action?

Kepustakaan

Frankl, Viktor E., Seni Penyembuhan Diri: Dari Psikoterapi Sampai Logoterapi, (IRCiSoD: Yogyakarta, 2022), 25, 140

Guthrie, Donald., New Testament Introduction, (Apolos & Intervarsity Press: England & New York, 1990), 6

Melton, J. Gordon (eds)., Encyclopedia of Protestantism, (Fact on File.Inc.: New York, 2005), 38

Sanders, E. P., Paul: The Apostle’s Life, Letters, and Thought (Fortress Press: Minneapolis, 2015), 157

Wilken, Robert L., The Christians as The Romans Saw Them, (Yale University Press: New Haven, London, 1984), 35-36

 

Scroll to Top